Membangun Kesadaran Politik suatu Refreksi

oleh: Salvador Pinto

09 September 2011 jam 11:14

WAKTU adalah zat yang berada diluar kekuasaan kita.

Waktu ada bukan karena kita tapi ia bersama kita. Maka kita ada di sini, di dunia ini, dalam suasana yang terus berubah karena pergiliran waktu. Ia terus berjalan dari detik ke detik; dari hari menjadi pekan, dari pekan menjadi bulan, dan dari bulan menjadi tahun. Begitulah seterusnya hingga menjadi zaman berperadaban.

Kita berada di sini dalam perputaran itu, sebagai upaya untuk mengikhlaskan sebuah kenyataan bahwa betapa kecil kuasa kita sebagai manusia. Pada saat yang sama, dengan rendah hati kita menyadari dengan sungguh-sungguh betapa Maha Kuasanya Allah di atas segala yang kita alami dan rasakan bahkan yang kita rencanakan.

Namun demikian, sekalipun waktu, rentang waktu dan proses yang bergulir di dalamnya berada di luar jangkauan kita, selalu ada keharusan bagi kita untuk memberinya makna. Saat ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk melakukan sesuatu sebagai bagian dari upaya kita dalam memaknai waktu dan kehidupan itu. Harapannya, dengan demikian kita mampu memberi makna bagi waktu dan kehidupan yang tulus dan tak kenal lelah—bahkan semakin cinta—menemani kita.

Kerja pemberian makna ini sama sekali bukan ikhtiar untuk menunjukkan kegagahan dan kesombongan diri, melainkan untuk memikul amanah Sang Kuasa, Allah, secara rendah hati sebagai pengelola dan pemimpin bumi. Karena itu, saya sangat bergembira diberi kesempatan oleh Allah melalui intelektual muda, Saudara Pangi Syarwi, untuk memberi makna—dengan “meng-edit” buku ini—bagi waktu dan kehidupan.

Sebagai manusia, kita mesti mampu membuat sejarah hidup kita sendiri. Seperti kata Paulo Fraire, “Seorang manusia adalah yang bisa menentukan sejarahnya sendiri.” Maka sebagai manusia dan sebagai bangsa, kita mesti membuktikan sejarah hidup kita sendiri. Karena kitalah yang merasakannya, maka kita jugalah yang merencanakannya.

Negara dalam banyak sebutannya; tanah air, tanah tumpah darah, tanah yang pertama menadah kulit kepala kita, adalah sesuatu yang melekat tak terpisah dalam struktur kesadaran rasional dan emosional kita. Tanah—yang dalam konteks ini kita sebut dengan Negara—dalam kesadaran itu adalah satu dari tiga fasilitas eksistensial yang menjadi kerangka dasar membangun kehidupan dan peradabannya; tanah, waktu dan keyakinan. Pada posisi itu, maka Indonesia—atau juga dunia ini seluruhnya—adalah tanah dimana praktek eksistensial kita dipampang.

Begitulah pada mulanya manusia menyadari, bahwa ia diturunkan ke dunia sebagai pengemban tugas merealisasikan kehendak-kehendak Sang Kuasa, dalam bentuk kemakmuran bumi. Dalam konteks bernegara juga begitu. Ia menjadi ‘ruang’ implementasi tugas mulia sosial-politik dan kepemimpinan, dalam batas-batas ‘tempo’ kerja, yang secara mikro kita sebut umur politik-kekuasaan dan secara makro kita sebut sejarah bangsa, berdasarkan ‘program’ kerja yang selanjutnya kita sebut sebagai konstitusi atau perundang-undangan. Di situ kita, baik sebagai pemimpin maupun rakyat biasa, memainkan peran ganda; sebagai pelaku dan obyek kepelakuan sekaligus.

Di sini ada kesatuan dan integralitas yang harmonis; saat mana kekuatan yang berbasis pada Sang Kuasa menjadi mainstream, dengannya akan dengan mudah dibangun jaringan sosial dan politik antara manusia berupa kekuasaan (elit) dan rakyat (alit) dengan Negara dan proses demokratisasi yang berlaku di dalamnya. Inilah yang dalam terminologi manusia modern disebut sebagai historical society (masyarakat sejarah); yaitu jenis masyarakat baru yang memiliki tingkat kesadaran struktural yang tinggi untuk merekayasa kehidupan sosial dan membangun peradaban negara-bangsanya. Atau jenis masyarakat baru yang menyudahi fase primitive society (masyarakat primitif).

Disebut primitif karena masyarakat tidak memiliki kesadaran strukural yang bertumpu pada ideologi untuk membangun jaringan hubungan sosial-politiknya. Yang terjadi adalah, bahwa jaringan hubungan sosial itu dibentuk berdasarkan ikatan ketanahan (faktor geografis dan ras), dan kepentingan elit tertentu, baik secara politik maupun ekonomi dan sejenisnya.

Dari ikatan inilah kemudian pada proses demokratisasi di masa lalu—Orde Lama dan Orde Baru, bisa jadi berulang kembali di masa sekarang dan masa depan—terbentuk kekuatan dengan ideologi pragmatisnya yang melahirkan apa yang kita sebut sebagai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada prakteknya, konstitusi, aturan dan norma kehidupan baik buruk atau benar salah bukan menjadi faktor utama dalam menentukan arah politik dan kepemimpinan, bahkan ia hanya menjadi faktor sekunder. Apa yang terjadi kemudian adalah umur kesengsaraan rakyat semakin panjang, carut-marut cara kita bernegara semakin lebar dan proses pembangunan yang diperankan oleh Negara semakin tak menentu.

Pada sisi tertentu, demokratisasi kemudian dipahami sebagai pergumulan antara harapan dan kekecewaan, kabar baik dan kabar buruk, masa depan yang benderang dan masa lampau yang gulita. Fase awal demokratisasi—1998-2003, 2004-2009, hingga kini 2011—membuktikan betapa harapan, kabar baik, dan masa depan benderang tak selalu menjadi pemenang. Ia tak hanya menghasilkan para pemenang dan penikmat tapi juga para pecundang dan korban.

Bagi sebagian kita, hal-hal baik yang dijanjikan demokratisasi datang terlampau lamban, malu-malu, satu per-satu, sementara hal-hal buruk di baliknya dan yang semestinya dilawannya justru selalu menyalip, datang lebih cepat dan berombongan. Ia pun jalan panjang, melelahkan dan seolah tak berujung. Sebagai sebuah bangsa dan bagian dari warga Negara, menghadapi fenomen tersebut dengan putus asa dan patah arang bukanlah pilihan.

Sebagai sebuah bangsa, kita sudah melewati peristiwa demokrasi beberapa periode. Secara umum kita dapat sederhanakan ke dalam beberapa periode, yaitu: Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada ketiga periode tersebut, Pemilu sebagai salah satu instrumen politik, sudah kita lalui dengan berbagai model dan kendala yang terdapat di dalamnya.

Walau dengan mengelus dada dan mengerutkan dahi, kita perlu memahami perjalanan demokratisasi Negara kita secara jernih. Mengingat kembali apa yang sudah terjadi pada masa lalu akan lebih elegan jika kita mengambil posisi aktif. Artinya, “pandanglah masa lalu dari masa depan”. Ambillah posisi strategis sebagai warga Negara yang baik; mengambil posisi pelaku bukan penonton. Sudah bukan saatnya lagi bagi kita mencaci maki masa lalu secara membabi buta. Ambillah sisi-sisi terang di masa lalu, dan segeralah mengesampingkan sisi gelapnya. Kini kita hidup di masa kini, dan segera menyongsong masa depan baru—dengan berbagai kendala, tantangan dan persiapan yang ada di dalamnya.

Lalu, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya? Kini kita sudah berada di tahun 2011—jika normal—menjelang Pemilu 2014. Artinya, “Tahun Politik” sudah dekat. Tahun 2014 sudah di ambang pintu. Sederet peristiwa politik berupa pemungutan suara untuk Pemilu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan pemungutan suara untuk Presiden dan Wakil Presiden bakal kita lalui bersama.

Kita tentu percaya bahwa Pemilu bukanlah tujuan. Ia adalah sarana atau kendaraan. Pemilu yang demokratis, berkala, bebas, jujur, adil, dan damai akan percuma manakala tak berhasil memfasilitasi tegaknya keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat serta tercapainya kesejahteraan dan keadilan.

Mengamini apa yang diungkap penulis buku ini, saya ingin mengatakan bahwa bahaya terbesar dari rangkaian Pemilu 2009 adalah gagal terfasilitasinya perikehidupan publik yang lebih baik “saat ini” dan “esok”. Untuk menaklukkannya, selain berharap penyelenggara Pemilu—dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU)—dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bisa menunaikan tugasnya secara layak, kita juga menumpukan harapan pada dua pelaku: kandidat dan pemilih.

Kualitas para kandidat akan ikut menentukan sukses atau gagalnya Pemilu 2014 dalam menggapai tujuan yang dikejarnya. Inilah ”sukses-gagal seleksi”. Sebab, mereka adalah produk mekanisme seleksi partai dan non-partai (khusus untuk DPD). Sukses seleksi bersifat elitis, tak melibatkan massa atau pemilih dalam jumlah besar. Tetapi, sukses ini menjadi hulu sukses Pemilu.

Di hilir, ada mekanisme ”eleksi”. Dalam medan pertarungan yang sesungguhnya inilah ratusan ribu ”bintang” (kandidat) itu akan ditentukan nasibnya oleh sekitar 250 juta ”penentu”, yakni pemilih, kita, yang tersebar di ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia—dan luar negeri.

Pada akhirnya, terlebih-lebih di tengah rendahnya kualitas para kandidat hasil mekanisme seleksi, peran para pemilih menjadi penting dan genting dalam menentukan sukses akhir Pemilu 2014. Maka, alih-alih runyam memikirkan rendahnya kualitas para kandidat, lebih konstruktif bagi kita untuk menjemput 2014 dengan menyiapkan diri masing-masing menjadi pemilih berkualitas dan bertanggung jawab.

Karena itu, ada baiknya kita tak menjadi pemilih cengeng dan kanak-kanak, yang menyalahkan partai politik dan kandidat atas rendahnya kualitas Pemilu secara membabi buta tanpa argumentasi dan persiapan yang matang. Jauh lebih konstruktif, membangun kualitas diri sebagai pemilih dewasa— atau, sekalipun pada akhirnya memutuskan untuk tak memilih, kita melakukannya dengan sama dewasanya.

Pemilu 2014 pun menuntut kita bertransformasi dari supporters politik menjadi voters politik, dari pendukung yang irasional, emosional, dan primordial menjadi pemilih yang kalkulatif, rasional, dan dewasa. Pemilih semacam ini tak merasa tugasnya usai saat sudah mencontreng dalam bilik suara, melainkan merasa tugasnya sebagai warga Negara justru baru dimulai, dan akan berlanjut setelah Pemilu berlangsung.

Transformasi berikutnya pun diperlukan, yakni dari ”pemilih” menjadi ”penagih janji” yang berupaya menjaga haknya serta menunaikan kewajibannya atas orang lain dan orang banyak sepanjang waktu. Sebagai warga Negara, kita tidak boleh merasa cukup menjadi peserta atau pemilih rasional tanpa diikuti dengan menjadikan diri sebagai warga Negara yang aktif. Maksudnya, kapasitas kita sebagai warga Negara “yang baik” akan lebih dahsyat ketika setelah proses Pemilu kita menggunakan hak konstitusi kita untuk menegur, memberi kritik dan masukan bahkan mengancam kekuasaan jika tak sejalan dengan kesepakatan atau rambu-rambu demokrasi. Dengan cara inilah, kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, lalu menjadi ”para penagih janji”. Dengan begitu, kita akan semakin dewasa dalam bernegara dan mampu menjemput momentum politik—termasuk Pemilu 2014—dengan senang hati dan optimisme.

Saya belum berkesempatan untuk memberi komentar yang banyak atas buku ini. Yang jelas, setelah membantu menyusun dan merapihkan naskah—atau meminjam sebutan penulisnya sebagai editor—buku ini, saya berkesimpulan bahwa penulisnya ingin mengingatkan sekaligus memprovokasi kita bahwa realitas politik kebangsaan yang pernah kita lalui dan saksikan pada beberapa periode serta yang sekarang sedang kita jalani belumlah seideal seperti yang kita inginkan.

Karena itu, ada baiknya semua elemen berbicara, melibatkan diri, memberi kritik dan saran, hingga mematangkan diri baik sebagai penguasa maupun rakyat biasa, agar ketika momentumnya tiba semuanya mampu berkontribusi dengan tulus. Akhirnya, masa depan demokrasi kebangsaan kita lebih baik dan menghadirkan kemaslahatan yang lebih nyata kepada publik, Negara dan bangsa.

Selanjutnya, dengan pengalaman yang dilihat, dialami atau yang difirasati serta latar studinya, bagi saya, penulis sangat relevan berbicara tentang perjalanan dan realitas demokrasi di Negeri ini. Baik tentang politik dan seluruh elemen dan instrumennya maupun Pemilu, Pilkada dan berbagai peristiwa yang bergejolak dalamnya.

Walau dengan diksi yang sangat tajam, kritik yang disampaikan dalam rentetan kritik pada beberapa bab buku ini adalah bukti cinta. Penulisnya mencintai Negeri ini dengan sungguh. Ibarat elang muda, ia akan pasti kembali. Penulisnya “pergi ke alam kritik”—alam yang sering ditakuti oleh sebagian orang—sebagai bukti untuk “terus-menerus mencintai Indonesia”. Ya, penulisnya pasti “kembali”. Karenanya, tak perlu ada yang merasa terlukai. Justru “nasehat dan renungan politik” seperti ini layak mendapat apresiasi dari seluruh elemen bangsa—terutama para elit yang “kerap” ingkar janji dan rakyat yang kadang lebih doyan dibodohi.

Lebih dari itu, penulis mencoba membangun kesadaran kita bahwa mencintai Indonesia dengan kerja nyata adalah pilihan pendekatan yang selayaknya diambil: menjadi pemain dan bukan penonton, menjadikan warga Negara yang baik sebagai tumpuan, berpikir besar, memulai dari yang kecil, mengerjakan secara optimal sekarang. Indonesia yang lebih baik hanya akan tumbuh di atas kerja nyata kita bukan caci maki kita.

Selanjutnya, penulis mengajak kita semua untuk tidak terlalu lama dan bangga dengan setiap peristiwa politik yang menyengsarakan. Kita mesti sadar bahwa kita memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menata masa depan bangsa ini. Spirit itulah yang saya temukan dalam karya ini. Karenanya, saya sangat percaya bahwa tokoh muda ini adalah salah satu dari sekian banyak manusia-manusia jenial Indonesia yang memiliki peluang besar sebagai pelaku utama dalam menggerakan perubahan bangsa ini di masa depan. Bukan saja karena responnya yang cepat, analisisnya yang tajam, tapi juga firasat politik dan kepemimpinannya yang khas.

Saya perlu menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada media massa yang telah mempublikasikan sebagian tulisan dari buku ini sebelum menjadi buku seperti yang ada di tangan pembaca sekarang. Sekaligus memohon maaf jika tulisan-tulisan tersebut saya ambil tanpa izin secara langsung. Walaupun bagi saya, tugas “mengucapkan” dan “maaf” ini akan lebih elegan jika disampaikan oleh penulis sendiri. Karena sebagai orang biasa, saya lebih suka memohon maaf kepada penulis yang dengan senang hati mempercayai saya untuk “meng-edit” naskah buku ini.

Jujur, banyak tulisan yang saya ubah dari aslinya. Dengan waktu, tenaga dan segala upaya, saya berusaha agar ide atau gagasan yang terdapat di dalamnya bisa dinikmati publik dengan ‘renyah’. Di samping rasa bangga saya kepada penulis yang telah mempercayai Penerbit Mitra Pemuda—dengan seluruh tim di dalamnya—sebagai penerbit yang menerbitkan buku ini. Sekali lagi, terima kasih Saudara Pangi Syarwi.

Akhirnya, saya menyaksikan bahwa karya ini adalah setitik upaya, agar jangan ada lagi interupsi yang tak didengar, lantaran telinga-telinga tuli enggan mendengar dan para pemburu dunia sungkan menggubris. Agar jangan ada lagi ide yang tak punya kesempatan untuk dibukukan, lantaran setiap generasi belum punya obsesi untuk melakukan peran menyusun kata-kata dalam kertas-kertas yang terlihat kusam. Padahal semua orang bisa melakukan peran ini, terutama aktivis (baca: politisi) dan intelektual muda, walaupun ditulis di antara “rintihan kesepian” dan “kepenatan politik” yang tak kenal jeda. Semoga ada yang berminat

KAWASAN BATU GOSOK MERUPAKAN KAWASAN PARIWISATA SERTA SEBAGAI BAGIAN WILAYAH KOTA (BWK) 5 LABUAN BAJO

Oleh : Rafael Arhat

(PNS berdomisili di Labuan Bajo)

Pembangunan wilayah dan/atau pembangunan sebuah kawasan hendaknya dilihat secara holistik dan sistemik. Perlu memperhatikan keterkaitan dan ketergantungan antara satu sektor dengan sektor yang lainnya. Ganggunan atau distorsi pada salah satu setor akan berimplikasi pada sektor-sektor yang lainnya. Demikian halnya dengan masalah kepariwisataan perlu dilihat secara IPOLEKSOSBUD HANKAM. Sangat berbahaya kalau pembangunan hanya dilihat secara partial dan/atau ego-sektoral
Judul tulisan di atas berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) Labuan Bajo, di mana Kota Labuan Bajo telah dibagi ke dalam 9 BWK. Kawasan Batu Gosok, termasuk pulau Seraya Kecil, pulau Kukusan Kecil dan pulau Kukusan Besar termasuk BWK 5 Labuan Bajo PERDA No. 30 tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Manggarai Barat, pasal 23 telah menetapkan peruntukan kawasan Batu Gosok sebagai kawasan pariwisata komersial. Sementara, dokumen yang secara khusus mengatur kota Labuan Bajo, termasuk kawasan Batu Gosok dan/atau BWK 5 Labuan Bajo, adalah RTRK Labuan Bajo. Oleh karena itu, referensi utama dalam pengaturan ruang Kota Labuan Bajo adalah dokumen RTRK sebagai penjabaran lebih lanjut dari PERDA No. 30/2005 seperti tersebut di atas. Perlu diinformasikan bahwa sasaran pengembangan BWK 5 Labuan Bajo sebagai bagian wilayah kota yang berfungsi sebagai kegiatan pariwisata dan fasilitas penunjangnya, di mana pengembangannya menjadi satu-kesatuan dengan pengembangan kawasan pusat kota.
Tulisan ini juga bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat Manggarai Barat tentang pemanfaatan ruang kawasan Batu Gosok dan/atau BWK 5 yang berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan fungsi yang diembannya serta daya dukung lingkungan secara berkelanjutan. Ada beberapa fungsi yang diemban oleh Kawasan Batu Gosok, yakni fungsi budidaya dan fungsi lindung. Fungsi budidaya diperuntukan bagi pengembangan pariwisata, pemukiman, peternakan, perkebunan dll. Sementara fungsi lindung berkaitan dengan Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yakni Sempadan Pantai, Hutan Bakau/Mangrove serta Kawasan dengan kemiringan di atas 40%. Kawasan Batu Gosok memiliki panorama alam yang sangat indah dan mempesona para wisatawan manca Negara yang berkunjunga ke kawasan tersebut.
Beberapa tahun terakhir, kawasan Batu Gosok menjadi pusat perhatian banyak pihak dan menjadi bahan diskusi, disoroti secara luas oleh berbagai media baik media cetak maupun elektronik. Ada banyak response, kritik dan pendapat yang disampaikan masyarakat luas berkaitan dengan pengalihfungsian ruang Kawasan Batu Gosok yang dilakukan PEMDA Manggarai Barat sendiri. Betapa tidak, tanpa sepengetahuan masyarakat luas, pada tanggal 9 Juli 2008 PEMDA Manggarai Barat memberikan izin melalu Keputusan Bupati Nomor : DPELH.540/273/VII/2008 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Bahan Galian Emas dan Mineral Pengikut Kepada PT. Grand Nusantara Di Batu Gosok Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan pada izin tersebut, maka mulai Mei 2009 PT Grand Nusantara mengerahkan semua factor produksi yang dimilikinya untuk melakukan eksplorasi dengan melakukan pembongkaran, pemboran, penggalian parit uji, serta merobah bentang alam, tidak saja pada kemiringan ≤ 40 %, tetapi juga memasuki kawasan lindung berupa sempadan pantai.
Sudah dapat dipastikan, pengalihfungsian ruang tersebut, memicu masyarakat untuk melapor di mana pada 5 September 2009 Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) melapor aktivitas eksplorasi bahan galian emas dan mineral pengikut di Batu Gosok tersebut kepada pihak POLRES Manggarai Barat, walaupun sampai saat ini, ± 1 tahun 5 bulan kemudian, laporan tersebut belum memberikan titik terang. Yang lebih disayangkan lagi bahwa Keputusan Bupati pada tahun 2008 tersebut di atas dirubah/diperbaharui menjadi Keputusan Bupati Manggarai Barat No.: DPE.540/381/XII/2009 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT Grand Nusantara tanggal 15 Desember 2009, namun nama Batu Gosok di rubah menjadi Gosongea, Toro Sitangga dan Puncak Samson.
Perubahan nama Batu Gosok menjadi Gosongea, Toro Sitangga dan Puncak Samson sangat menarik. Kemungkinan besar dilakukan secara sengaja untuk menghindari Pasal 23 dari PERDA No. 30/2005 tentag RTRW Manggarai Barat di mana dtsebutkan bahwa obyek wisata komersial meliputi di antaranya Batu Gosok, serta menghindari laporan pidana yang disampaikan GERAM kepada POLRES Manggarai Barat seperti yang tersebut di atas. Masalah lain yang perlu disampaikan adalah kedua Keptusan Bupati Manggarai Barat tersebut di atas, baik KP yang diberikan pada tahun 2008, maupun IUP Eksplorasi yang diberikan pada akhir tahun 2009 tidak diawali dengan Izin Lingkungan. Dengan gagah berani, masyarakat pro tambang di Manggarai Barat, pada berbagai kesempatan selalu menyatakan bahwa AMDAL dilakukan setelah kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan IUP operasi produksi. Apakah betul demikian, atau apakah dasar hukum yang mendasari pernyataan tersebut? Sebagai pembanding, perlu menyimak beberapa referensi hukum berikut.
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 39 ayat (1) mengamanatkan bahwa IUP eksplorasi wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya : huruf (n) AMDAL. Lalu, peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4/2009 tersebut di atas adalah Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, pasal 23 menegaskan bahwa persyaratan IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi meliputi persyaratan, huruf (c) lingkungan. Pasal 26 menegaskan bahwa persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf (c) meliputi : a) untuk IUP eksplorasi meliputi persyaratan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya mematuhi ketentuan yang dimuat pada Undang-Undang No. 32/2009 tentang PPLH; dan b) untuk IUP operasi produksi meliputi : 1) persyaratan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan 2) persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tidak pernah ada kalimat di dalam ke dua produk perundang-undangan tersebut yang menyatakan bahwa AMDAL wajib disusun setelah kegiatan eksplorasi selesai, sebagai bagian dari Studi Kelayakan sebelum memasuki tahap Operasi Produksi. Bahkan ditegaskan bahwa IUP eksplorasi harus mematuhi ketentuan yang dimuat di dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang PPLH yang menegaskan bahwa dokumen AMDAL merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Berdasarkan pada keputusan kelayakan lingkungan hidup, maka Bupati menerbitkan izin lingkungan. Setelah menerbitkan izin lingkungan, baru IUP eksplorasi diterbitkan. Jangan dibalik bahwa setelah IUP eksplorasi baru diberikan izin lingkungan. Kalau dibalik seperti yang sering dilakukan di Manggarai Barat, maka hal tersebut masuk pada klasifikasi proses pembodohan terhadap masyarakat. Dengan perkataan lain, berdasarkan pada beberapa produk perundang-undangan tersebut di atas, maka IUP eksplorasi yang diterbitkan oleh Pemda Manggarai Barat di Batu Gosok dan/atau Gosongea, Toro Sitangga dan Puncak Samson belum memenuhi persyaratan lingkungan. Kalau Pemda Manggarai Barat lebih memihak kepada aspirasi masyarakat, pelaku pariwisata, lingkungan hidup, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemda tidak boleh memberikan izin lingkungan kepada semua IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi yang beroperasi di wilayah Manggarai Barat.
Asumsi yang diambil bahwa Pemda Manggarai Barat tidak bersedia memberikan izin lingkungan kepada semua IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, maka tindakan selanjutnya sesuai kewenangan pemerintah adalah melakukan pengawasan dan jika ditemukan adanya pelanggaran maka pemerintah dapat menerapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. Jika sanksi administratif diterapkan, maka otomatis IUP eksplorasi batal demi hukum.dan/atau tidak berlaku. Lebih lanjut ditegaskan bahwa pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan IUP eksplorai dan IUP operasi produksi ttdak melaksanakan paksaan pemerintah. Sementara, paksaan pemerintah dapat dilakukan berupa : penghentian sementara kegiatan produksi; pemindahan sarana produksi; penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; pembongkaran; penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; penghentian sementara seluruh kegiatan; atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Dapat dibayangkan jika kawasan Batu Gosok dan/atau BWK 5 Labuan Bajo beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan bahan galian emas dan mineral pengikut, maka sudah dipastikan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat mengeksploitasi pengembangan kawasan pusat kota Labuan Bajo, kegiatan kepariwisataan, kawasan TNK dan kawasan penyangga kepariwisataan lainnya di sekitar TNK. Cairan yang biasanya digunakan untuk memisahkan tanah dengan unsur emas adalah Cianida dan/atau merkuri. Biasanya limbah dalam proses pemisahan emas dan tanah tersebut disalurkan melalui tailing yang diarahkan ke laut. Jika dibandingkan dengan tailing yang digunakan oleh PT New Mont di NTB, maka tailingnya diarahkan ke perairan lautan Hindia dengan kedalaman ± 1000 (seribu) meter di bawah permukaan laut dan dipantau secara terus-menerus dengan teliti. Pertanyaan untuk Manggarai Barat, apakah ada kedalaman air laut di perairan Manggarai Barat yang mencapai 1000 (seribu) meter? Informasi yang diperoleh dari pihak PELNI Labuan Bajo menyebutkan bahwa kedalaman perairan Manggarai Barat hanya mencapai paling dalam ± 500 (lima ratus) meter. Lalu, limbah cair dari proses pemisahan emas dan tanah akan dibuang ke mana?
Ada informasi yang sering disampaikan oleh para pihak yang pro tambang di Manggarai Barat yang menyatakan bahwa teknologi China tidak membuang limbah hasil pemrosesan pemisahan tanah dan emas ke laut. Lalu, dibuang ke mana? Untuk menjawab pertanyaan ini, makanya perlu dikaji melalui AMDAL. Inilah salah satu tujuan disusunnya dokumen AMDAL. Jangan sampai masyarakat Manggarai Barat dibodohi oleh informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti itu. Ternyata setelah ditelusuri lebih lanjut, maka ada informasi yang menyatakan bahwa pemrosesan lebih lanjut dari rencana eksplorasi/operasi produksi bahan galian emas dan mineral pengikut di Batu Gosok dan/atau Gosongea, Torositangga dan Puncak Samson akan dilakukan di Surabaya. Dari Labuan Bajo akan dikirim tanah secara golondong/tanpa proses ke Surabaya. Ada 2 (dua) masalah yang muncul, jika informasi terakhir ini benar, pertama, kegiatan ini melibatkan 2 (dua) provinsi yakni Provinsi NTT dan Jatim. Artinya kewenangan dalam proses penilaian dokumen AMDAL merupakan kewenangan Komisi Penilai AMDAL Pusat yang berkedudukan di Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Komisi Penilai AMDAL Propinsi dan/atau Kabupaten Manggarai Barat tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap dokumen AMDAL yang aktivitas usaha dan/atau kegiatannya melibatkan 2 (dua) provinsi. Kedua, secara ekonomis usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak menguntungkan, Mengapa? Untuk menghasilkan 1 (satu) gram emas membutuhkan ± 1 (satu) ton tanah. Berapa biaya angkut yang dibutuhkan untuk mengangkut tanah sebanyak itu untuk bisa sampai di Surabaya hanya untuk menghasilkan 1 (satu) gram emas? Lalu, berapa harga penjualan 1 (satu) gram emas untuk menutup biaya produksi yang begitu tinggi?
Salah satu dimensi lingkungan hidup adalah menembus batas ruang yang lebih luas, tergantung pada arah angin dan aliran sungai dan laut. Jika pembuangan air limbah atau tailing dalam proses pemisahan tanah dan emas dialirkan ke laut, dan arus laut bergerak ke mana saja arah yang ditujunya, maka dapat dipastikan akan mencemari seluruh perairan laut di sekitar Labuan Bajo dan TNK, bahkan bisa menembus perairan Kabupaten Bima di Privinsi NTB dan Laut Flores. Dikawatirkan, bahwa perairan di sekitar Labuan Bajo dan TNK akan tercemar dengan lumpur yang berdampak negatif pada kualitas kimiawi dan biologi air laut. Jika terjadi perubahan negatif yang significant terhadap kualitas air laut, maka dapat berpengaruh negatif juga pada semua flora dan fauna perairan seperti ikan, biota laut lainnya termasuk terumbu karang. Bukankah biodiversitas terumbu karang di perairan TNK menduduki peringkat dua dunia dan selalu dibanggakan semua pihak yang pernah berkunjung ke TNK?
Salah satu komoditi yang dimiliki Manggarai Barat adalah perikanan. laut. Kalau selama ini, Manggarai Barat selalu mengekspor dan mengantarpulaukan ikan ke Denpasar, Surabaya dan kota lainnya di Indonesia, maka mungkin saja satu saat Manggarai Barat akan mengimpor ikan dari Bima, Mataram dan Makassar dan kota lainnya di Indonesia untuk dijual di Labuan Bajo. Mudah-mudahan hal seperti tidak akan terjadi.
Masalah yang paling urgent saat ini adalah merubah mindset/pola pikir masyarakat Manggarai Barat, terutama para pengambil kebijakan, agar lebih berpikir holistik, sistemik dan yang tidak kalah penting adalah mendengar dan membuka mata hati untuk saling melihat kesulitan dan jeritan masyarakat miskin. .Merubah mindset membutuhkan waktu yang relatif sangat lama, tapi sesulit apa pun, tidak salah kalau selalu dicoba dimulai dari sekarang. Mata hati memiliki kemampuan yang luar biasa untuk dapat mengatasi berbagai persoalan pembangunan saat ini. Oleh karena itu, perlu introspeksi diri dan mendengar apa kata hati kita masing-masing.

*) Tulisan ini dimuat pada majalah DIASPORA edisi Januari 2011

Kisah 1000 Kelereng

Makin tua, aku makin menikmati Sabtu pagi. Mungkin karena adanya keheningan sunyi senyap sebab aku yang pertama bangun pagi, atau mungkin juga karena tak terkira gembiraku sebab tak usah masuk kerja. Apapun alasannya, beberapa jam pertama Sabtu pagi amat menyenangkan.
Beberapa minggu yang lalu, aku agak memaksa diriku ke dapur dengan membawa secangkir kopi hangat di satu tangan dan koran pagi itu di tangan lainnya. Apa yang biasa saya lakukan di Sabtu pagi, berubah menjadi saat yang tak terlupakan dalam hidup ini. Begini kisahnya.
Aku keraskan suara radioku untuk mendengarkan suatu acara Bincang-bincang Sabtu Pagi. Aku dengar seseorang agak tua dengan suara emasnya. Ia sedang berbicara mengenai seribu kelereng kepada seseorang di telpon yang dipanggil “Tom”. Aku tergelitik dan duduk ingin mendengarkan apa obrolannya.

“Dengar Tom, kedengarannya kau memang sibuk dengan pekerjamu. Aku yakin mereka menggajimu cukup banyak, tapi kan sangat sayang sekali kau harus meninggalkan rumah dan keluargamu terlalu sering. Sulit kupercaya kok ada anak muda yang harus bekerja 60 atau 70 jam seminggunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menonton pertunjukan tarian putrimu pun kau tak sempat”.

Ia melanjutkan : “Biar kuceritakan ini, Tom, sesuatu yang membantuku mengatur dan menjaga prioritas apa yang yang harus kulakukan dalam hidupku”.

Lalu mulailah ia menerangkan teori “seribu kelereng” nya.” Begini Tom, suatu hari aku duduk-duduk dan mulai menghiitung-hitung. Kan umumnya orang rata-rata hidup 75 tahun. Ya aku tahu, ada yang lebih dan ada yang kurang, tapi secara rata-rata umumnya kan sekitar 75 tahun. Lalu, aku kalikan 75 ini dengan 52 dan mendapatkan angka 3900 yang merupakan jumlah semua hari Sabtu yang rata-rata dimiliki seseorang selama hidupnya. Sekarang perhatikan benar-benar Tom, aku mau beranjak ke hal yang lebih penting”.

“Tahu tidak, setelah aku berumur 55 tahun baru terpikir olehku semua detail ini”, sambungnya, “dan pada saat itu aku kan sudah melewatkan 2800 hari Sabtu. Aku terbiasa memikirkan, andaikata aku bisa hidup sampai 75 tahun, maka buatku cuma tersisa sekitar 1000 hari Sabtu yang masih bisa kunikmati”.

“Lalu aku pergi ketoko mainan dan membeli tiap butir kelereng yang ada. Aku butuh mengunjungi tiga toko, baru bisa mendapatkan 1000 kelereng itu. Kubawa pulang, kumasukkan dalam sebuah kotak plastik bening besar yang kuletakkan di tempat kerjaku, di samping radio. Setiap Sabtu sejak itu, aku selalu ambil sebutir kelereng dan membuangnya”.

“Aku alami, bahwa dengan mengawasi kelereng-kelereng itu menghilang, aku lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang betul-betul penting dalam hidupku. Sungguh, tak ada yang lebih berharga daripada mengamati waktumu di dunia ini menghilang dan berkurang, untuk menolongmu membenahi dan meluruskan segala prioritas hidupmu”.

“Sekarang aku ingin memberikan pesan terakhir sebelum kuputuskan teleponmu dan mengajak keluar istriku tersayang untuk sarapan pagi. Pagi ini, kelereng terakhirku telah kuambil, kukeluarkan dari kotaknya. Aku berfikir, kalau aku sampai bertahan hingga Sabtu yang akan datang, maka Allah telah meberi aku dengan sedikit waktu tambahan ekstra untuk kuhabiskan dengan orang-orang yang kusayangi”.

“Senang sekali bisa berbicara denganmu, Tom. Aku harap kau bisa melewatkan lebih banyak waktu dengan orang-orang yang kau kasihi, dan aku berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu. Selamat pagi!”

Saat dia berhenti, begitu sunyi hening, jatuhnya satu jarumpun bisa terdengar ! Untuk sejenak, bahkan moderator acara itupun membisu. Mungkin ia mau memberi para pendengarnya, kesempatan untuk memikirkan segalanya. Sebenarnya aku sudah merencanakan mau bekerja pagi itu, tetapi aku ganti acara, aku naik ke atas dan membangunkan istriku dengan sebuah kecupan.

“Ayo sayang, kuajak kau dan anak-anak ke luar, pergi sarapan”. “Lho, ada apa ini…?”, tanyanya tersenyum. “Ah, tidak ada apa-apa, tidak ada yang spesial”, jawabku, “Kan sudah cukup lama kita tidak melewatkan hari Sabtu dengan anak-anak ? Oh ya, nanti kita berhenti juga di toko mainan ya? Aku butuh beli kelereng.”

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
Dikutip dari Indonesian groups

Dari setiap satu kelereng yang telah terbuang, apakah yang telah anda dapatkan ?

Apakah ……..
kesedihan
keraguan
kebosanan
rasa marah
putus asa
hambatan
permusuhan
pesimis
kegagalan ?

ataukah …….
kebahagiaan
kepercayaan
antusias
cinta kasih
motivasi
peluang
persahabatan
optimis
kesuksesan ?

Waktu akan berlalu dengan cepat. Tidak banyak kelereng yang tersisa dalam kantong anda saat ini. Gunakan secara bijak untuk memberikan kebahagiaan yang lebih baik bagi anda sendiri, keluarga, dan lingkungan anda.

Sukses untuk anda !

Smp Kemasyarakatan Ndoso Rayakan Pancawindu

Sekolah Menengah Pertama Kemasyarakatan Ndoso (SMPK Ndoso) yang bernaung di bawah yayasan St. Fransisikus Ndoso-Tentang, tahun ini genap berusia 50 tahun. Sekolah kebanggaan masyarakat Tentang, Kec. Kuwus, Kab. Manggarai Barat ini telah merayakan hari emasnya, pesta pancawindu pada tanggal 15 Januari 2011 yang lalu. Begitu banyak kesuksesan yang telah diraih namun ada pula kegagalan yang perlu dibenahi.

Perayaan ini juga merupakan ajang reuni bagi para alumnus, Wakil Bupati Manggarai Barat, Bpk. Drs. Maximus Gasa, M.si. adalah salah seorang senior alumnus yang telah sukses dalam dunia pendidikan, dia merupakan sebuah kebanggaan bagi sekolah ini, dia akan menjadi motivator bagi yunior-yuniornya yang masih sekolah sekarang untuk berpacu kompetisi dalam dunia pendidikan. Para yunior di Ndoso hendaknya melihat kesuksesan senior-senior mereka yang telah sukses serta belajar dari kegagalan mereka agar terus berpacu. Para alumnus banyak yang telah sukses berkat sentuhan pendidikan di sekolah ini dalam berbagai bidang profesi, ada yang telah menjadi pengusaha, guru, imam dan biarawan/i, dan masih banyak yang lainnya.

Ketua yayasan SMPK St. Fransiskus Ndoso, Pater Jimmy Hendrik Rance, OFM, mengatakan para alumnus harus mendukung sekolah ini agar bisa selalu eksis, kesuksesan para alumni merupakan motivasi utama bagi generasi penerus sehingga menjadi orang yang bertanggung jawab dalam membangun daerah. Pater menambahkan, sejauh ini sekolah telah mengalami banyak tantangan terurtama bagaimana bersaing dengan sekolah lain dalam hal fasilitas sekolah, seperti computer, dan fasilitas modern lainnya, mudah-mudahan hal ini segera dapat dibenahi sehingga dunia pendidikan semakin maju.

Dalam bincang-bincang dengan media ini, seorang alumnus Marselina Dalmun, A.Md mengatakan, saya mau agar pesta pancawindu ini memberikan kekuatan baru bagi sekolah ini agar semakin populer.

Sementara, Maxi Gasa, dalam sambutannya mengatakan, akan terus membantu SMPK Ndoso dengan cara apapun, dan saya berharap semua elemen mesti turut membantu, termasuk anak-anak sekolah agar belajar tekun sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.( mp 3 )

Camat Borong Lantik Anggota BPD

Borong, Manggarai Pos. Camat Borong Kab. Manggarai Timur Jumat 14/1/2011 melantik 85 anggota Badan Pemusyawaratan Desa (BPD), dari 17 desa baru yang merupakan desa pemekaran di kec. Borong, Matim, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai Timur nomor HK/142.8/2010 tentang pengesahan pengangkatan anggota BPD pada desa-desa baru di Manggarai Timur.

Dalam sambutannya camat Egi mengatakan pemekaran bertujuan agar pelayanan terhadap masyarakat semakin dekat sehingga pembangunan dapat berjalan lancar dan cepat. Beliau juga memberi pemahaman kepada anggaota BPD yang baru dengan menjelaskan tiga fungsi utama anggota BPD yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi kontrol, sangat diharapkan semua anggota BPD memahami tugasnya ini sehingga dapat membangun desa bekerja sama dengan Kepala Desa terpilih nanti sesuai misi awal pemekaran desa yaitu kesejahteraan masyarakat.

Wilfridus Jiman, anggota DPRD Matim Dapil Borong usai pelantikan mengatakan “sangat diharapkan agar anggota BPD yang baru dilantik ini bisa menyelenggarakan pemerintahan desa yang baik dan bersih”.

Salah seorang anggota BPD yang baru dilantik, Yustina Min, anggota BPD dari desa compang kempo, pemekaran dari desa Golo Loni, kepada Manggarai Pos mengatakan “ini adalah sebuah tantangan bagi kami, kami bekerja untuk masyarakat, kami harus berjuang ekstra keras untuk membangun desa, kami sangat mengharapkan bantuan dari semua pihak agar bersama-sama maju membangun desa” (Vj).

66 Warga Manggarai Terinfeksi HIV/AIDS



Korban HIV/AIDS di Kabupaten Manggarai terus bertambah. Tercatat hingga saat ini sebanyak 66 warga setempat terinfeksi virus mema

tikan tersebut. Sebanyak 15 korban diantaranya meninggal dunia.

Tren kasus HIV dan AIDS di Kabupaten Manggarai terus meningkat. Hingga November 2010 tercat

at 66 warga di daerah ini terinfeksi virus mematikan itu. Hal itu disampaikan Pengelola Pro

gram K

omisi Penanggualangan AIDS Daerah (KPAD) Manggarai, Bony Mardianus kepada media ini di ruang kerjanya belum lama ini.

Mardianus mengatakan, Sejak 2005 hingga November 2010 sudah ada 66 orang di kabupaten Manggarai yang me

nderita HIV/AIDS

. Dari data tersebut sebanyak 42 penderita HIV, 28 diantaranya laki-laki dan 14 lainnya perempuan. Sementara penderita AIDS berjumlah 24 orang yang terdiri dari 19 laki-laki dan 5 perempuan. Sampai saat ini penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia sebanyak 15 orang. “ Dilihat dari jenis kelamin, sampai saat ini penderita kebanyakan l

aki-laki, “ kata Mardianus

Dari segi profesi lanjutnya jumlah terbanyak adalah para eks Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mencapai 45 persen. Sementara diurutan ke dua adalah pelajar. Jumlah penderita HIV/AIDS paling banyak berada di Kecamatan Langke Rembong, disusul kecamatan Ruteng, Satar Mese, Cibal, Reok, Satar Mese Barat dan Lelak. Untuk sementara dua kecamatan lainnya yakni Rahong Utara dan Wae Rii untuk belum terdeteksi.

Menurut Mardianus, meningkatnya kasus HIV/AIDS di Manggarai dominan dipengaruhi oleh prilaku menyimpang hetereoseks atau hubungan seks berganti-ganti pasangan. Sedangkan infeksi melalui jarum suntik hingga saat ini belum ada. “Pemicu utama meningkatnya kasus ini karena hetereoseks. Karena itu kita harapkan masyarakat selalu menghindari prilaku menyimpang,” tegas Mardianus.

Mardianus mengemukakan, mencegah makin meningkatnya penyebaran virus tersebut KPAD Manggarai bersama instansi terkait dan LSM peduli AIDS gencar melaksanakan program Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang bahaya dan upaya pencegahan HIV/AIDS. Program KIE ini dilaksanakan ke sekolah-sekolah dan juga masyarakat umum sampai ke tingkat desa. Dia berharap masyarakat memahami bahaya HIV/AIDS dan berupaya untuk meminimalisir prilaku menyimpang yang berpotensi terjadinya HIV/AIDS. “Sosialisasi tentang bahaya dan media penularan HIV/AIDS terus kita lakukan sampai ke desa-desa,” ujar Mardianus.***(Tadeus Tanggang)