LABUAN BAJO Dulu dan Sekarang

1991- 1995:
Labuan Bajo antara tahun ini hanyalah kawasan pesisir, terbentang dari Kampung Ujung sampai Wae Kemiri. Tempat lain disebut dengan namanya sendiri. Kawasan PLN: dari Wae Kemiri sampai Pasar Baru. Kawasan kompleks: dari Gang Pengadilan sampai Rumahnya Om Pit Dis. Kawasan Bandara: sepanjang jalan dari rumahnya Om Dan Bahang sampai Firdaus. Lamtoro: daerah perumahan di bawah Reli Televisi (masih hutan). Kawasan Gereja: dari Rumahnya Pa Simon Selman sampai Langka KB. Beberapa kampung (sedih banget....): Waemata, Sernaru, Lancang, Wae Bo, Cowang Dereng, Wae Kesambi, dan Rangko (semuanya masih kampung e, banyak ‘purang’ kabanya lagi.....). Daerah ini masih kampung dan hutan ‘toe’ karena saat itu belum terjangkau Bemo, paling Oto Proyek Flores Co (yang angkut batu di sisi Bandara Udara) dan Bis Malam yang kebetulan mengantar penumpang ke wilayah sana atau Oto Serviam-nya TKK St. Angela, tapi luji e, orang lain tir boleh naik, kecuali murid-muridnya sendiri (khususnya Wae Kesambi, karena sudah ada jalan. Yang lain belum bisa karena masih jalan setapak, hehehehehe.....). Tahun-tahun ini yang hidup di kawasan kampung masih terisolasi dan sulit mendapat akses yang baik.

Saya mau bercerita tentang wilayah yang disebut “Kampung”, khususnya kami yang dari Waekesambi. Yang hidup di daerah ini pasti merasakan bagaimana sulitnya kalau harus membeli ikan di Labuan Bajo. Biasanya, jalan kaki dulu ke Langka KB (kira-kira 30 menit) tunggu Bemo di sana. Kalau tidak, ambil jalan setapak, lewat Bandara, tembus Lamtoro, terus ke Kampung Ujung atau turun Puskesmas ke Pasar Lama (lumayan, Bro! 1, 5 jam perjalanan). Tapi, orang rumah su pasti menunggu, apalagi kalau yang datang ikan Juku Eja dari Pede. Kalau mau menunggu di rumah, ada Tanta Nuri datang menjual ikan, tapi mahal e, apalagi kalau harus tukar ikan dengan beras atau ubi, kadang tidak sebanding. Bo beti nai, tapi sifat orang Kempo memang baik hati, memberikan kalau memang ada, kalau tidak ada bon dulu. Tapi e, siap didatangi terus oleh Tanta Nuri. Untuk diketahui, atau mungkin sudah tahu, orang ini penjual ikan sekaligus “kreditor”. Sangat beruntung kalau ada Om-om yang pi menyuluh ikan, biar ikan kecil ta, yang penting makan ikan. Kalau su tir ada ikan lagi, hang saung Daeng kat, tapi siap kat dengar anak-anak menangis e plus orang tua pu teriak. Ini hanya soal ikan.

Hal yang menarik muncul kalau pas Natal dan Paskah. Bulan-bulan Desember sampai Maret memang merupakan bulan yang cukup menjengkelkan. Su hujan terus, becek, jalan kaki, tir ada ojek lagi. Pokoknya aslinya kampung kelihatan. Biasanya kan, kalau pas Natal atau Paskah, misa itu hanya satu kali di Gereja Roh Kudus. Dijamin Gereja pasti selalu penuh. Tapi bukan di situ yang menarik! Kalau ada yang ingat, orang ramai-ramai betul cuci kaki di Langka KB dan di depan Rumahnya Pa Dami Sanggo. Dari rumah, sepatu gereja di‘tipa’ dan celana setengah tiang, menyangkut lumpur, becek, tir ada ojek lagi. Pokoknya rame! Bulan-bulan ini merupakan bulannya Kerbau, aslinya kaba kelihatan, semua genangan air dijadikan kubangan (purang). Keadaan yang su parah ditambah menjadi parah lagi. Sehingga anak-anak SDK Wae Medu, tingkahnya hampir mirip seperti Kerbau, karena musim ini adalah musim berenang di Cunca Pau. Asli, gantian dengan Kaba; kerbau diusir, ramai-ramai berbugil ria di sana. Toe ma ritak! Sulit membedakan mana Kerbau, mana anak SD, heheheheheh...... Tapi untung banyak yang menjadi anak baik sekarang, neho aku pe....hehehehe! Itulah kehidupan: “Back to Nature!”

Bagi saya sendiri, antara tahun ini merupakan tahun-tahun yang sulit. Masih SD dan selama tiga tahun harus berjalan kaki dari Cowang Dereng sampai SDN Labuan Bajo I. Perjalanan pagi bisa sampai 1,5 jam; pulang karena panas bisa sampai 2 jam, belum lagi kalau sampai di Bandara ada Pesawat mau turun atau naik, berhenti dulu, duduk dan liat pesawat, setelah itu baru lewat. Asli cape banget! Bayangkan selama tiga tahun jalan kaki, mese bocel e....!!! untung sa jadi anak Guru, tidak ada kata terlambat, biar skolah su masuk 30 menit. Untung juga bebas tidak bawa peralatan kerja atau kayu api setiap hari Jumat, kalau tidak mungkin sa su putus sekolah. Saya juga heran kenapa saya tidak minta pindah saat itu. Alasannya, tir mau lepas dari Mama (anak mami pe....waktu itu! Sekarang su laen o...). Kami memang jadi korban dari seretnya pembangunan. Tapi tir apa-apa, paling tidak ada cerita untuk anak cucu dan orang-orang baru di Labuan Bajo.

Itu sekelumit Labuan Bajo yang dulu, paling kurang saat saya SD. Tapi kemarin (bulan Juli 2009) ketika Kole Beo, su ada banyak perubahan. Batas-batas atas wilayah tadi su tir jelas lagi. Yang ada hanya nama jalan yang agak lucu (cek sendiri sa ta nama-nama jalannya.......). Memang beberapa wilayah masih harus ditempuh dengan ojek karena selalu berlumpur, apalagi menuju Sernaru, sedih kat ga.... Kalau ke Wae Kesambi, dua jalur jalan itu tinggal dipoles lagi. Satu lagi yang yang menarik bahwa saya merasa menjadi orang baru di Labuan Bajo, demikian juga pengakuan anak-anak asli Labuan Bajo. Terlalu banyak yang berubah dan dalam lima tahun terakhir hampir setengah penduduk Labuan Bajo adalah orang-orang baru. Secara pribadi, saya merasa menjadi orang asli hanya ketika di rumah sendiri dan Lapangan bola Lancang. Di sana saya bertemu teman-teman lama dan aslinya wajah-wajah polos orang-orang labuan (maaf buat ase kae ‘baru’ dari Labuan Bajo). Di tempat lain, saya su tir tau lagi...... Hampir tir ada lagi sapaan hangat atau ngobrol atau anak-anak bermain depan Gereja setelah misa, karena masing-masing dengan Mobil Dinas pulang ke rumah. Bo sedih........!!!

Tapi, Labuan Bajo memang harus berubah.... Suatu hari saya pasti balek, Teman! Saya rindu dengan Sunset di Puncak Waringin bukan Restoran-restoran, Juku eja di Pede bukan dengan makanan ala Swalayan, Batu Cermin, SDN I dan SDK Wae Medu (almamaterku), dan beberapa tempat yang sangat berkesan. Viva!