KAWASAN BATU GOSOK MERUPAKAN KAWASAN PARIWISATA SERTA SEBAGAI BAGIAN WILAYAH KOTA (BWK) 5 LABUAN BAJO

Oleh : Rafael Arhat

(PNS berdomisili di Labuan Bajo)

Pembangunan wilayah dan/atau pembangunan sebuah kawasan hendaknya dilihat secara holistik dan sistemik. Perlu memperhatikan keterkaitan dan ketergantungan antara satu sektor dengan sektor yang lainnya. Ganggunan atau distorsi pada salah satu setor akan berimplikasi pada sektor-sektor yang lainnya. Demikian halnya dengan masalah kepariwisataan perlu dilihat secara IPOLEKSOSBUD HANKAM. Sangat berbahaya kalau pembangunan hanya dilihat secara partial dan/atau ego-sektoral
Judul tulisan di atas berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) Labuan Bajo, di mana Kota Labuan Bajo telah dibagi ke dalam 9 BWK. Kawasan Batu Gosok, termasuk pulau Seraya Kecil, pulau Kukusan Kecil dan pulau Kukusan Besar termasuk BWK 5 Labuan Bajo PERDA No. 30 tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Manggarai Barat, pasal 23 telah menetapkan peruntukan kawasan Batu Gosok sebagai kawasan pariwisata komersial. Sementara, dokumen yang secara khusus mengatur kota Labuan Bajo, termasuk kawasan Batu Gosok dan/atau BWK 5 Labuan Bajo, adalah RTRK Labuan Bajo. Oleh karena itu, referensi utama dalam pengaturan ruang Kota Labuan Bajo adalah dokumen RTRK sebagai penjabaran lebih lanjut dari PERDA No. 30/2005 seperti tersebut di atas. Perlu diinformasikan bahwa sasaran pengembangan BWK 5 Labuan Bajo sebagai bagian wilayah kota yang berfungsi sebagai kegiatan pariwisata dan fasilitas penunjangnya, di mana pengembangannya menjadi satu-kesatuan dengan pengembangan kawasan pusat kota.
Tulisan ini juga bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat Manggarai Barat tentang pemanfaatan ruang kawasan Batu Gosok dan/atau BWK 5 yang berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan fungsi yang diembannya serta daya dukung lingkungan secara berkelanjutan. Ada beberapa fungsi yang diemban oleh Kawasan Batu Gosok, yakni fungsi budidaya dan fungsi lindung. Fungsi budidaya diperuntukan bagi pengembangan pariwisata, pemukiman, peternakan, perkebunan dll. Sementara fungsi lindung berkaitan dengan Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yakni Sempadan Pantai, Hutan Bakau/Mangrove serta Kawasan dengan kemiringan di atas 40%. Kawasan Batu Gosok memiliki panorama alam yang sangat indah dan mempesona para wisatawan manca Negara yang berkunjunga ke kawasan tersebut.
Beberapa tahun terakhir, kawasan Batu Gosok menjadi pusat perhatian banyak pihak dan menjadi bahan diskusi, disoroti secara luas oleh berbagai media baik media cetak maupun elektronik. Ada banyak response, kritik dan pendapat yang disampaikan masyarakat luas berkaitan dengan pengalihfungsian ruang Kawasan Batu Gosok yang dilakukan PEMDA Manggarai Barat sendiri. Betapa tidak, tanpa sepengetahuan masyarakat luas, pada tanggal 9 Juli 2008 PEMDA Manggarai Barat memberikan izin melalu Keputusan Bupati Nomor : DPELH.540/273/VII/2008 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Bahan Galian Emas dan Mineral Pengikut Kepada PT. Grand Nusantara Di Batu Gosok Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan pada izin tersebut, maka mulai Mei 2009 PT Grand Nusantara mengerahkan semua factor produksi yang dimilikinya untuk melakukan eksplorasi dengan melakukan pembongkaran, pemboran, penggalian parit uji, serta merobah bentang alam, tidak saja pada kemiringan ≤ 40 %, tetapi juga memasuki kawasan lindung berupa sempadan pantai.
Sudah dapat dipastikan, pengalihfungsian ruang tersebut, memicu masyarakat untuk melapor di mana pada 5 September 2009 Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) melapor aktivitas eksplorasi bahan galian emas dan mineral pengikut di Batu Gosok tersebut kepada pihak POLRES Manggarai Barat, walaupun sampai saat ini, ± 1 tahun 5 bulan kemudian, laporan tersebut belum memberikan titik terang. Yang lebih disayangkan lagi bahwa Keputusan Bupati pada tahun 2008 tersebut di atas dirubah/diperbaharui menjadi Keputusan Bupati Manggarai Barat No.: DPE.540/381/XII/2009 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT Grand Nusantara tanggal 15 Desember 2009, namun nama Batu Gosok di rubah menjadi Gosongea, Toro Sitangga dan Puncak Samson.
Perubahan nama Batu Gosok menjadi Gosongea, Toro Sitangga dan Puncak Samson sangat menarik. Kemungkinan besar dilakukan secara sengaja untuk menghindari Pasal 23 dari PERDA No. 30/2005 tentag RTRW Manggarai Barat di mana dtsebutkan bahwa obyek wisata komersial meliputi di antaranya Batu Gosok, serta menghindari laporan pidana yang disampaikan GERAM kepada POLRES Manggarai Barat seperti yang tersebut di atas. Masalah lain yang perlu disampaikan adalah kedua Keptusan Bupati Manggarai Barat tersebut di atas, baik KP yang diberikan pada tahun 2008, maupun IUP Eksplorasi yang diberikan pada akhir tahun 2009 tidak diawali dengan Izin Lingkungan. Dengan gagah berani, masyarakat pro tambang di Manggarai Barat, pada berbagai kesempatan selalu menyatakan bahwa AMDAL dilakukan setelah kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan IUP operasi produksi. Apakah betul demikian, atau apakah dasar hukum yang mendasari pernyataan tersebut? Sebagai pembanding, perlu menyimak beberapa referensi hukum berikut.
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 39 ayat (1) mengamanatkan bahwa IUP eksplorasi wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya : huruf (n) AMDAL. Lalu, peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4/2009 tersebut di atas adalah Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, pasal 23 menegaskan bahwa persyaratan IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi meliputi persyaratan, huruf (c) lingkungan. Pasal 26 menegaskan bahwa persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf (c) meliputi : a) untuk IUP eksplorasi meliputi persyaratan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya mematuhi ketentuan yang dimuat pada Undang-Undang No. 32/2009 tentang PPLH; dan b) untuk IUP operasi produksi meliputi : 1) persyaratan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan 2) persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tidak pernah ada kalimat di dalam ke dua produk perundang-undangan tersebut yang menyatakan bahwa AMDAL wajib disusun setelah kegiatan eksplorasi selesai, sebagai bagian dari Studi Kelayakan sebelum memasuki tahap Operasi Produksi. Bahkan ditegaskan bahwa IUP eksplorasi harus mematuhi ketentuan yang dimuat di dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang PPLH yang menegaskan bahwa dokumen AMDAL merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Berdasarkan pada keputusan kelayakan lingkungan hidup, maka Bupati menerbitkan izin lingkungan. Setelah menerbitkan izin lingkungan, baru IUP eksplorasi diterbitkan. Jangan dibalik bahwa setelah IUP eksplorasi baru diberikan izin lingkungan. Kalau dibalik seperti yang sering dilakukan di Manggarai Barat, maka hal tersebut masuk pada klasifikasi proses pembodohan terhadap masyarakat. Dengan perkataan lain, berdasarkan pada beberapa produk perundang-undangan tersebut di atas, maka IUP eksplorasi yang diterbitkan oleh Pemda Manggarai Barat di Batu Gosok dan/atau Gosongea, Toro Sitangga dan Puncak Samson belum memenuhi persyaratan lingkungan. Kalau Pemda Manggarai Barat lebih memihak kepada aspirasi masyarakat, pelaku pariwisata, lingkungan hidup, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemda tidak boleh memberikan izin lingkungan kepada semua IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi yang beroperasi di wilayah Manggarai Barat.
Asumsi yang diambil bahwa Pemda Manggarai Barat tidak bersedia memberikan izin lingkungan kepada semua IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, maka tindakan selanjutnya sesuai kewenangan pemerintah adalah melakukan pengawasan dan jika ditemukan adanya pelanggaran maka pemerintah dapat menerapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. Jika sanksi administratif diterapkan, maka otomatis IUP eksplorasi batal demi hukum.dan/atau tidak berlaku. Lebih lanjut ditegaskan bahwa pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan IUP eksplorai dan IUP operasi produksi ttdak melaksanakan paksaan pemerintah. Sementara, paksaan pemerintah dapat dilakukan berupa : penghentian sementara kegiatan produksi; pemindahan sarana produksi; penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; pembongkaran; penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; penghentian sementara seluruh kegiatan; atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Dapat dibayangkan jika kawasan Batu Gosok dan/atau BWK 5 Labuan Bajo beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan bahan galian emas dan mineral pengikut, maka sudah dipastikan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat mengeksploitasi pengembangan kawasan pusat kota Labuan Bajo, kegiatan kepariwisataan, kawasan TNK dan kawasan penyangga kepariwisataan lainnya di sekitar TNK. Cairan yang biasanya digunakan untuk memisahkan tanah dengan unsur emas adalah Cianida dan/atau merkuri. Biasanya limbah dalam proses pemisahan emas dan tanah tersebut disalurkan melalui tailing yang diarahkan ke laut. Jika dibandingkan dengan tailing yang digunakan oleh PT New Mont di NTB, maka tailingnya diarahkan ke perairan lautan Hindia dengan kedalaman ± 1000 (seribu) meter di bawah permukaan laut dan dipantau secara terus-menerus dengan teliti. Pertanyaan untuk Manggarai Barat, apakah ada kedalaman air laut di perairan Manggarai Barat yang mencapai 1000 (seribu) meter? Informasi yang diperoleh dari pihak PELNI Labuan Bajo menyebutkan bahwa kedalaman perairan Manggarai Barat hanya mencapai paling dalam ± 500 (lima ratus) meter. Lalu, limbah cair dari proses pemisahan emas dan tanah akan dibuang ke mana?
Ada informasi yang sering disampaikan oleh para pihak yang pro tambang di Manggarai Barat yang menyatakan bahwa teknologi China tidak membuang limbah hasil pemrosesan pemisahan tanah dan emas ke laut. Lalu, dibuang ke mana? Untuk menjawab pertanyaan ini, makanya perlu dikaji melalui AMDAL. Inilah salah satu tujuan disusunnya dokumen AMDAL. Jangan sampai masyarakat Manggarai Barat dibodohi oleh informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti itu. Ternyata setelah ditelusuri lebih lanjut, maka ada informasi yang menyatakan bahwa pemrosesan lebih lanjut dari rencana eksplorasi/operasi produksi bahan galian emas dan mineral pengikut di Batu Gosok dan/atau Gosongea, Torositangga dan Puncak Samson akan dilakukan di Surabaya. Dari Labuan Bajo akan dikirim tanah secara golondong/tanpa proses ke Surabaya. Ada 2 (dua) masalah yang muncul, jika informasi terakhir ini benar, pertama, kegiatan ini melibatkan 2 (dua) provinsi yakni Provinsi NTT dan Jatim. Artinya kewenangan dalam proses penilaian dokumen AMDAL merupakan kewenangan Komisi Penilai AMDAL Pusat yang berkedudukan di Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Komisi Penilai AMDAL Propinsi dan/atau Kabupaten Manggarai Barat tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap dokumen AMDAL yang aktivitas usaha dan/atau kegiatannya melibatkan 2 (dua) provinsi. Kedua, secara ekonomis usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak menguntungkan, Mengapa? Untuk menghasilkan 1 (satu) gram emas membutuhkan ± 1 (satu) ton tanah. Berapa biaya angkut yang dibutuhkan untuk mengangkut tanah sebanyak itu untuk bisa sampai di Surabaya hanya untuk menghasilkan 1 (satu) gram emas? Lalu, berapa harga penjualan 1 (satu) gram emas untuk menutup biaya produksi yang begitu tinggi?
Salah satu dimensi lingkungan hidup adalah menembus batas ruang yang lebih luas, tergantung pada arah angin dan aliran sungai dan laut. Jika pembuangan air limbah atau tailing dalam proses pemisahan tanah dan emas dialirkan ke laut, dan arus laut bergerak ke mana saja arah yang ditujunya, maka dapat dipastikan akan mencemari seluruh perairan laut di sekitar Labuan Bajo dan TNK, bahkan bisa menembus perairan Kabupaten Bima di Privinsi NTB dan Laut Flores. Dikawatirkan, bahwa perairan di sekitar Labuan Bajo dan TNK akan tercemar dengan lumpur yang berdampak negatif pada kualitas kimiawi dan biologi air laut. Jika terjadi perubahan negatif yang significant terhadap kualitas air laut, maka dapat berpengaruh negatif juga pada semua flora dan fauna perairan seperti ikan, biota laut lainnya termasuk terumbu karang. Bukankah biodiversitas terumbu karang di perairan TNK menduduki peringkat dua dunia dan selalu dibanggakan semua pihak yang pernah berkunjung ke TNK?
Salah satu komoditi yang dimiliki Manggarai Barat adalah perikanan. laut. Kalau selama ini, Manggarai Barat selalu mengekspor dan mengantarpulaukan ikan ke Denpasar, Surabaya dan kota lainnya di Indonesia, maka mungkin saja satu saat Manggarai Barat akan mengimpor ikan dari Bima, Mataram dan Makassar dan kota lainnya di Indonesia untuk dijual di Labuan Bajo. Mudah-mudahan hal seperti tidak akan terjadi.
Masalah yang paling urgent saat ini adalah merubah mindset/pola pikir masyarakat Manggarai Barat, terutama para pengambil kebijakan, agar lebih berpikir holistik, sistemik dan yang tidak kalah penting adalah mendengar dan membuka mata hati untuk saling melihat kesulitan dan jeritan masyarakat miskin. .Merubah mindset membutuhkan waktu yang relatif sangat lama, tapi sesulit apa pun, tidak salah kalau selalu dicoba dimulai dari sekarang. Mata hati memiliki kemampuan yang luar biasa untuk dapat mengatasi berbagai persoalan pembangunan saat ini. Oleh karena itu, perlu introspeksi diri dan mendengar apa kata hati kita masing-masing.

*) Tulisan ini dimuat pada majalah DIASPORA edisi Januari 2011